Bulan Agustus, 25 tahun yang lalu. Seorang wanita yang terbaring di sebuah ranjang di rumah bidan. Menahan perih dan sakit menunggu anak pertama yang dikandungnya selama 9 bulan lahir ke dunia. Aku tak bisa menggambarkan betapa kuatnya dia menanggung semua itu. Aku belum menjadi ibu. Tapi suatu saat nanti ketika akan menjadi ibu, aku akan merasakan hal yang sama. Tak bisa kubayangkan betapa luar biasa kekuatan wanita ini bertahan dengan semua rasa sakit itu.
Entah berapa jam lamanya wanita ini menunggu hingga waktu persalinan tiba. Hingga waktunya, ia berjuang habis-habisan untuk bisa melahirkan anak itu dengan selamat. Begitu kuatnya ia berjuang, dengan kondisi bayinya saat itu sungsang. Ketika bayi yang normal bisa keluar kepala dulu, tapi bayi ini kemudian keluar pertama kali dengan bagian “bokong” terlebih dahulu, kemudian kaki, dan kepala yang keluar di saat terakhir. Aku tak bisa membayangkan bagaimana si bayi itu bertahan dengan kondisi saluran pernafasannya yang masih terjepit di tubuh wanita itu. Tapi sungguh luar biasa karunia Allah, Dia menyelamatkan keduanya, sang bayi dan wanita itu.
Wanita itu yang kelak kupanggil Mama.
Wanita itu yang kelak kupanggil Mama.
Mama adalah wanita yang paling galak dan protektif
Itu yang kupikirkan dari kanak-kanak hingga remaja. Meskipun aku tahu, itu adalah wujud kasih sayang dan kekhawatiran pada anaknya. Terutama karena kedua anaknya, aku dan adikku adalah perempuan. Kusebut ia galak, sebenarnya lebih pada disiplin. Disiplin terhadap waktu. Jam 7 pagi anak-anaknya sudah harus mandi. Jam 2 siang wajib tidur siang hingga jam 4 sore. Dan jam 4 sore anak-anaknya juga sudah harus mandi sore. Begitu setiap hari. Namun dasarnya aku yang masih anak-anak, selalu saja membuat Mama jengkel. Bermain di rumah tetangga sepanjang waktu, karena keranjingan dengan Playstation 1 yang tetanggaku punya. Tak jarang Mama harus mengetuk pagar tetangga dan memanggilku untuk segera pulang.
Tumbuh sebagai remaja, Mama semakin protektif padaku. Dan sebagaimana remaja pada umumnya, aturan tak tertulis itu selalu saja kulanggar. Seakan membatasi kebebasanku untuk bermain dan berkumpul bersama teman-teman. Seringkali kepulanganku menjadi “santapan” malam keluarga. Tak ada habisnya aku dimarahi, hingga aku sampai bosan mendengarnya. Bodohnya aku malah tak bosan untuk berulah lagi. Kadang aku suka membentak balik mereka. Belum lagi orang tuaku yang terlihat lebih perhatian terhadap adikku daripada aku. Jika urusannya dimanja-manja, mungkin adikku akan jadi prioritas utama. Begitu yang kulihat, dan itu tak adil bagiku.
Hingga suatu ketika ada orang-orang yang membuat sudut pandangku terhadap Mama berubah. Pertama, kakak kelasku di SMA. Dia pernah berkata, “Des, kamu harus mengerti kenapa orang tuamu “seolah-olah” membedakanmu dengan adikmu. Kenapa kamu sering dimarahi ketimbang adikmu. Sebenarnya orang tuamu ingin membuat kamu jadi lebih dewasa, agar siap menjaga adikmu saat orang tuamu sudah tidak ada.” Itu menjawab pertanyaanku mengapa kedua orang tuaku memperlakukanku dengan adik tak adil. Kedua, wali kelasku saat kelas 3 SMA di tengah euforia persiapan Ujian Nasional. Beliau memberi nasihat padaku bahwa aku tak boleh melawan orang tua, bahkan kepada Ibu. “Jangan membuat jarak yang jauh dari Ibu, hanya karena kesal mendengar Ibu yang sering memarahi. Apalagi di momen penting saat akan menghadapi Ujian Akhir Nasional. Kata-kata Ibu bagai doa yang mustajab. Maka dari itu, bersikap baiklah pada Ibu.” Kedua nasihat itu terngiang-ngiang di pikiranku. Semua pikiran jahatku tentang Mama sirna, semenjak saat itu.
Mama, malaikatku
Pada suatu waktu, aku mengalami depresi berat karena sesuatu yang menyakitkan menimpaku. Di saat semua orang di rumah tak mampu menghilangkan keputusasaanku dalam menjalani hidup, kemudian Mama datang segera memelukku. Mama yang saat itu masih punya usaha berjalan di Jakarta, ketika mendengar anaknya mengalami hal seperti itu, ia bergegas kembali ke Bandung. Tak lepas tangannya menggenggam tanganku, dan menuntunku untuk menyebut asma Allah. Satu yang aku ingat, mulutnya tak berhenti berdzikir, sesekali berkata pada anaknya, “Kakak harus bangkit, kakak harus bisa untuk bangkit.”
Entah doa apa yang ia panjatkan untukku. Mungkin benar adanya doa Ibu begitu mustajab. Dan itu terjadi padaku. Perlahan aku mencoba bangkit. Menjalani kehidupan baru dengan lebih baik. Bahkan beliau begitu bahagia ketika aku bisa kembali tersenyum dan tertawa seperti biasanya. Mencoba melupakan semua kesedihan di masa lalu.
Mama yang selalu percaya bahwa anaknya adalah anaknya yang kuat. Ketika rapuh untuk kedua kalinya, Mama yang menguatkan. Kalimat-kalimat positif Mama seperti menyihirku, hingga sedihku kembali sirna. Seolah rasa sakit itu tak pernah ada. Mama pun percaya bahwa selalu ada kuasa Allah yang mengiringi setiap langkah kehidupan. Percaya bahwa setelah kesulitan selalu ada kemudahan. Percaya bahwa selalu ada yang lebih baik yang mampu menggantikan sesuatu yang hilang. Percaya bahwa yang baik pasti akan bertemu dengan yang baik.
Rasa itu tak mampu diungkapkan
Aku bukan tipikal orang yang mampu mengekspresikan rasa sayang dan rindu kepada keluarga, entah itu pada Mama, Papa, atau adik. Tak mudah kukatakan, “Mamaa, aku kangen” atau “Aku sayang Mama”. Aku lebih memilih untuk memberikan sesuatu tanpa ada ucapan apapun. Pernah suatu kali aku membuat kerajinan bunga dari kertas di sekolah dalam rangka Hari Ibu. Tak berani kuberikan langsung, bunga kertas itu kemudian kusimpan di atas kasur di kamar orang tuaku. Sekaku itu sayangku pada Mama. Aneh tapi nyatanya seperti itu.
Termasuk tulisanku saat ini. Sepertinya dia tak akan membacanya jika aku tak memberitahukannya. Tapi biarlah. Biar rasa sayangku kuwujudkan dengan memberikan sesuatu yang bisa membahagiakannya. Biar kesuksesanku yang menjadi sesuatu yang bisa membanggakannya. Dan biar doaku menjadi obat rindu untuknya.
Untukmu, wanita yang sudah mengandungku selama 9 bulan. Merawatku dan membesarkanku menjadi wanita mandiri hingga saat ini. Wanita yang luar biasa tangguh dan sabar. Untukmu malaikatku, selamat hari Ibu dan selamat ulang tahun Mama. Sehat dan bahagia selalu, dan semoga anakmu bisa selalu membahagiakanmu, selamanya.
mama adalah segalanya
BalasHapusyess, she is everything in our life :)
Hapus